Rabu, 18 September 2013

Apakah Semua Bid'ah Sesat ?






AHLUL BID’AH HASANAH

Daftar Isi:

a. Sampaikan Allah Mencintai Mereka
b. Arti Bid’ah
c. Hadits-hadits tentang Bid’ah
d. Kumpul Berdzikir
e. Menambahkan Surah Al-Ikhlash
f. Shalat Tarawih
g. Bertabarruk
h. Ziarah Kubur

a. Sampaikan Allah Mencintai Mereka

Rasulullah Saw. meminta menanyakan alasan seseorang melakukan amalan yang tidak pernah beliau contohkan. Ketika perbuatan dan amalan itu tidak bertentangan dengan syari’at, Rasulullah mendukungnya dan bahkan menjaminnya mendapatkan surga.

Sering kita mendengar atau membaca pernyataan sekelompok orang yang menyatakan kesesatan amalan-amalan ulama salaf, seperti tahlilan, maulidan, shalawatan, yasinan dan sebagainya.

Bermodalkan kata bid’ah dan kalimat “tidak ada tuntunannya dan tidak dicontohkan oleh Rasulullah Saw.”, mereka berani menyatakan muslim yang lain sesat dan memvonisnya sebagai calon penghuni neraka. Diantara mereka bahkan ada yang berani berkata: “Jangan ikuti ulama karena kamu akan tersesat. Cukup ikuti al-Quran dan as-Sunnah, kamu pasti selamat.” Pemahaman yang salah tentang sunnah dan bid’ah telah menyebabkan mereka menyatakan sesat, musyrik dan kafir terhadap muslim lain.

Oleh karena itu, agar tidak terjebak dalam hal yang sama, kita harus memahami makna sunnah dan bid’ah dengan benar, menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, sesuai penjelasan para ulama salaf, bukan menurut hawa nafsu dan penafsiran akal kita sendiri. Allah Swt. Berfirman: “Maka bertanyalah kalian kepada ahli dzikir jika kalian tidak mengetahui.” (QS. al-Anbiya ayat 7).

Berikut adalah kutipan dari buku al-Habib Noval bin Muhammad Alaydrus yang berjudul “Ahlul Bid’ah Hasanah”.

b. Arti Bid’ah

Bid’ah menurut ar-Raghib al-Ashfahani adalah: “Penciptaan sesuatu yang baru tanpa adanya contoh sebelumnya.”

Sedangkan menurut al-Hafidz Ibnu Hajar: “Segala sesuatu yang diadakan tanpa contoh sebelumnya, baik yang bersifat terpuji maupun tercela.”

Menurut kamus al-Munjid, bid’ah adalah sesuatu yang diadakan tanpa adanya contoh terlebih dahulu.

Setelah meneliti dan mempelajari berbagai hadits yang berhubungan dengan permasalahan bid’ah, para ulama salaf kemudian merumuskan arti bid’ah menurut syari’at. Imam Syafi’i Ra. berkata: “Bid’ah terbagi menjadi dua, yaitu bid’ah mahmudah (yang terpuji) dan bid’ah madzmumah (yang tercela). Bid’ah yang sesuai dengan sunnah adalah bid’ah terpuji, sedangkan yang bertentangan dengan sunnah adalah bid’ah tercela.”

Dalam kesempatan lain Imam Syafi’i berkata: “Hal-hal baru (muhdatsat) itu ada dua. Pertama, hal yang bertentangan dengan al-Quran dan as-Sunnah, atsar maupun ijma’. Inilah bid’ah yang sesat. Kedua, segala hal baru yang baik dan tidak bertentangan dengan al-Quran dan as-Sunnah, atsar maupun ijma’. Hal baru seperti itu tidaklah tercela.”

Imam an-Nawawi berkata: “Bid’ah menurut syari’at adalah pengadaan sesuatu yang baru yang tidak ada di masa Rasulullah Saw. dan ia terbagi menjadi dua, yaitu bid’ah hasanah (baik) dan qabihah (buruk).”

Sang guru dan imam yang diakui keimamannya dan kebesarannya serta keahlian dan kemampuannya yang luar biasa dalam menguasai berbagai jenis ilmu, Abu Muhammad Ibnu Abdul Aziz bin Abdussalam, dalam bagian akhir kitab al-Qawaid berkata: “Bid’ah terbagi menjadi bid’ah wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah. Dan hal itu dapat diketahui dengan mengembalikan bid’ah tersebut pada kaidah-kaidah syari’at. Jika masuk ke dalam kaidah-kaidah yang wajib, ia bid’ah wajib. Jika masuk dalam kaidah haram, ia bid’ah haram. Jika masuk dalam kaidah makruh, ia bid’ah makruh. Jika masuk dalam kaidah sunnah, ia bid’ah sunnah. Jika masuk dalam kaidah mubah, ia bid’ah mubah.”

Imam al-Ghazali berkata: “Sesungguhnya bid’ah yang tercela adalah bid’ah yang bertentangan dengan sunnah-sunnah yang kuat. Adapun bid’ah yang membantu seseorang untuk berhati-hati dalam beragama, ia adalah bid’ah yang terpuji.”

Ibnu Hajar al-Haitami berkata: “Sesungguhnya para ulama sepakat menganjurkan untuk membuat dan mengamalkan bid’ah hasanah.”

Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad berkata: “Bid’ah terbagi menjadi tiga macam:

1. Bid’ah hasanah (baik), yaitu semua bid’ah yang menurut aimmatul huda (para imam) sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah. Bid’ah tersebut timbul karena mereka, para imam, mengutamakan yang lebih tepat, lebih bermanfaat dan lebih baik. Contohnya adalah pengumpulan al-Quran oleh Abu Bakar, pelaksanaan shalat Tarawih oleh Umar, penyusunan mushaf dan adzan pertama di hari Jum’at oleh Utsman, serta hukum memerangi para pemberontak oleh Ali.

2. Bid’ah madzmumah (tercela) dalam pemahaman zuhud, wara’ dan qana’ah saja. Yang termasuk bid’ah jenis ini adalah berlebihan dalam hal-hal mubah, seperti berpakaian, makan dan tempat tinggal.

3. Bid’ah madzmumah (tercela) secara mutlak, yaitu semua bid’ah yang bertentangan dengan ketentuan al-Quran dan as-Sunnah atau bertentangan dengan kesepakatan umat Islam. Bid’ah jenis ini sering kali terjadi dalam masalah ushul, tapi jarang terjadi dalam masalah furu’.”

Ulama Ahlussunnah sepakat, bid’ah secara garis besar terbagi menjadi dua, yaitu bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah dhalalah (sesat). Sedangkan secara terperinci terbagi menjadi lima, seperti yang dikatakan Abu Muhammad Ibnu Abdul Aziz bin Abdussalam. Jadi, tidak semua bid’ah sesat. Hanya bid’ah yang bertentangan dengan al-Quran dan as-Sunnah lah yang sesat.

c. Hadits-hadits tentang Bid’ah

Banyak hadits yang berbicara tentang bid’ah. Hadits yang menjadi acuan utama dalam pembahasan bid’ah adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat yang bernama Irbadh bin Sariyah. Beberapa ahli hadits, seperti Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan at-Tirmidzi, meriwayatkan hadits tersebut dengan sedikit perbedaan matan (teks hadits). Berikut kutipan hadits sesuai yang tercantum dalam kitab al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain.

Irbadh bin Sariyah berkata: “Suatu hari selepas shalat Shubuh, Rasulullah Saw. memberikan nasihat kepada kami dengan sebuah nasihat yang sangat menyentuh sehingga membuat air mata berlinang dan hati bergetar. Maka seorang sahabat berkata: “Duhai Rasulullah, nasihat tadi sepertinya nasihat perpisahan. Lantas apa yang engkau amanatkan kepada kami?”

Lalu Rasulullah Saw. bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat kepada pemimpin meskipun yang memimpin kalian seorang budak Habasyi. Sebab sesungguhnya siapapun diantara kalian yang masih hidup sepeninggalku akan melihat berbagai perselisihan. Oleh karena itu hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk Allah Swt. Pegang erat sunnah tersebut dan gigitlah dengan gigi geraham. Berhati-hatilah kalian terhadap muhdatsatil umur (hal-hal baru), karena sesungguhnya semua muhdats (yang baru) itu bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan at-Tirmidzi).

Kalimat terakhir dari sabda Rasulullah Saw. di atas inilah yang menjadi dasar sebagian orang untuk mencela amalan para salaf dan para wali.

Agar tidak terjadi salah penafsiran atas ucapan Rasulullah Saw. itu, mari kita simak penjelasan Imam an-Nawawi Ra. Ia berkata: “Sabda Rasulullah Saw. “Dan setiap bid’ah adalah sesat” adalah hadits yang ‘am makhshush (yang bersifat umum dan kemudian diberi kekhususan). Dan yang dimaksud bid’ah dalam hadits tersebut adalah sebagian bid’ah.”

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, an-Nasai dan Ibnu Majah, dari Jabir bin Abdullah al-Bajili, ia berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa di dalam Islam membuat sebuah sunnah yang baik, ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengamalkan sunnah itu setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa di dalam Islam membuat sunnah yang buruk, ia memperoleh dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa sedikit pun mengurangi dosa mereka.”

Hadits di atas merupakan hadits shahih. Imam an-Nawawi Ra. ketika menjelaskan hadits di atas berkata: “Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memberikan contoh awal dalam berbagai kebaikan dan membuat sunnah-sunnah yang baik serta terdapat peringatan untuk tidak membuat hal-hal yang bathil dan buruk. Dalam hadits ini juga terkandung pengecualian atas sabda Rasulullah Saw. “Semua yang baru adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat”. Yang dimaksud hal-hal baru yang sesat adalah hal-hal baru yang bathil serta bid’ah-bid’ah yang tercela.”

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang membuat sesuatu yang baru dalam masalah agama kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), ia tertolak.” (HR. Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad).

Ketika menjelaskan hadits ini Ibnu Rajab berkata: “Hadits ini secara tekstual menunjukkan bahwa semua amal yang tidak ada perintah asy-syari’ (Rasulullah Saw.) adalah tertolak. Akan tetapi secara tersirat (pemahaman) hadits ini menunjukkan bahwa semua amalan yang padanya terdapat perintah Rasulullah Saw. adalah diterima. Yang dimaksud dengan perintah Rasulullah Saw. dalam hadits ini adalah agama dan syari’atnya.”

Abdullah al-Ghumari menjelaskan: “Hadits ini merupakan pengecualian bagi hadits “Semua bid’ah adalah sesat”, sekaligus menjelaskan arti bid’ah yang sesat sebagaimana tampak jelas dalam hadits tersebut. Seandainya semua bid’ah adalah sesat tanpa pengecualian, tentu haditsnya akan berbunyi “Barangsiapa membuat sesuatu yang baru, ia tertolak”. Akan tetapi ketika Rasulullah Saw. bersabda “Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah agama kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), ia tertolak.” (HR. Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad).

Maka sabda Rasulullah Saw. ini memberikan pengertian bahwa hal-hal yang baru terbagi menjadi dua:

1. Segala hal yang baru yang tidak berasal dari agama dan ia bertentangan dengan kaidah dan dalil-dalil yang terdapat dalam agama. Hal-hal baru semacam ini adalah tertolak. Inilah yang dimaksud dengan bid’ah dhalalah (sesat).

2. Semua yang baru yang berasal dari agama yaitu bersumber dari agama atau diperkuat oleh dalil-dalil yang berasal dari agama, hal baru seperti ini adalah benar dan diterima, dan inilah yang dinamakan bid’ah hasanah.

d. Kumpul Berdzikir

Dalam Shahih Muslim disebutkan, pada suatu hari Rasulullah Saw. keluar dan mendapati sejumlah sahabat sedang duduk dalam sebuah halaqah. Melihat hal tersebut Rasulullah Saw. bertanya kepada mereka: “Apa yang membuat kalian duduk di sini?”

“Kami duduk di sini untuk berdzikir kepada Allah dan memujiNya atas hidayah dan karunia yang Dia berikan kepada kami untuk memeluk Islam,” jawab mereka.

Rasulullah Saw. kembali bertanya kepada mereka dengan bersumpah: “Demi Allah, apakah hanya itu yang membuat kalian duduk di sini?”

“Demi Allah, hanya itulah yang membuat kami duduk di sini,” jawab mereka.

Rasulullah Saw. kemudian bersabda: “Sesungguhnya sumpahku tadi bukan karena berprasangka buruk kepada kalian, akan tetapi Jibril tadi datang menemuiku dan menyampaikan bahwa Allah Swt. sedang membangga-banggakan kalian kepada para malaikat.” (HR. Muslim, Ahmad, at-Tirmidzi dan an-Nasai).

Hadits di atas merupakan hadits shahih yang tidak hanya diriwayatkan oleh Imam Muslim, tetapi juga oleh perawi-perawi lainnya. Dalam hadits di atas tampak jelas, sejumlah sahabat membuat halaqah di luar kebiasaan Rasulullah Saw., dan tanpa perintah Rasulullah Saw.

Rasulullah Saw. merasa heran dan menanyakan apa yang sedang mereka lakukan, akan tetapi beliau Rasulullah Saw. tidak marah dan tidak memperingatkan mereka. Beliau menanyakan apa alasan mereka membuat halaqah tersebut. Dan ketika ternyata alasan mereka tidak bertentangan dengan syari’at, Rasulullah Saw. mendukung mereka dan bahkan menyatakan bahwa mereka sedang dibangga-banggakan oleh Allah Swt.

Demikianlah Rasulullah Saw. selalu menyemangati umatnya untuk mengadakan amalan sunnah yang baik agar dapat diteladani oleh orang lain.

e. Menambahkan Surah Al-Ikhlash

Sayyidatuna Aisyah Ra. menceritakan: “Pada suatu hari Rasulullah Saw. mengutus beberapa sahabat ke medan laga. Beliau menunjuk salah seorang diantara mereka sebagai pemimpin. Anehnya, pemimpin tersebut setiap kali menjadi imam dalam shalatnya selepas surah al-Fatihah membaca surah lalu ia selalu mengakhiri dengan surah al-Ikhlash. Ketika pasukan perang yang dipimpinnya kembali ke Madinah, para sahabat melaporkan hal ini kepada Rasulullah Saw.

Setelah menyimak laporan mereka, Rasulullah Saw. berkata: “Tanyakan kepadanya mengapa ia melakukan hal itu.”

Ketika hal itu ditanyakan kepadanya, ia menjawab: “Sebab surah al-Ikhlash itu memuat sifat-sifat Allah Yang Maha Penyayang dan aku suka membaca sifat-sifat itu.” Para sahabat menyampaikan jawaban ini kepada Rasulullah Saw.

Mendengar alasan itu, Rasulullah Saw. bersabda: “Sampaikan kepadanya bahwa Allah mencintainya.” (HR. al-Bukhari, Muslim dan an-Nasai).

f. Shalat Tarawih

Imam al-Bukhari Ra. dalam kitab shahihnya menyebutkan dari Abdurrahman bin Abdul Qari, ia berkata: “Pada suatu malam di bulan Ramadhan saya keluar menuju masjid bersama Umar bin Khaththab Ra. Di sana tampak masyarakat sedang menunaikan shalat Tarawih secara berkelompok dan terpisah-pisah. Ada yang shalat sendiri, ada pula yang shalat bersama sekelompok orang.

Pada saat itulah Umar Ra. berkata: “Menurutku andai kata semua orang ini kupersatukan di bawah pimpinan seorang imam yang hafal al-Qur’an, tentu akan lebih baik.”

Beliau bertekad mewujudkan niatnya. Akhirnya beliau persatukan mereka di bawah pimpinan Ubay bin Ka’ab.

Di malam lain, aku keluar menuju masjid bersama Umar Ra., saat masyarakat sedang menunaikan shalat Tarawih berjama’ah dengan imam mereka yang hafal al-Quran. Menyaksikan pemandangan tersebut berkatalah Umar: “Inilah sebaik-baik bid’ah.” (HR. al-Bukhari dan Malik).

g. Bertabarruk

Tabarruk artinya upaya mencari keberkahan. Secara garis besar, berkah atau barakah memiliki dua arti. Pertama, tumbuh dan tambah. Kedua, kebaikan yang berkesinambungan.

Tabarruk kepada Nabi, peninggalan para Nabi serta kaum shalihin, dan hal-hal yang berhubungan dengan mereka, sesuai dengan dalil yang terdapat dalam al-Quran maupun hadits. Salah satu tabarruk kepada Nabi adalah tabarruk umat Nabi Nuh As. kepada beliau.

Perjalanan Nabi Nuh As. bersama orang-orang pilihan di dalam bahteranya mengarungi banjir yang melanda dunia merupakan sebuah peristiwa yang sangat penting. Saat itu orang yang kufur kepada Allah Swt. tenggelam ditelan banjir. Nabi Nuh As. bersama pengikutnya menantikan tibanya di tempat berlabuh yang baik, sebab di sanalah mereka akan membangun kehidupan baru. Allah pun memerin-tahkan Nabi Nuh As. untuk berdoa memohon tempat yang berkah sebagai pelabuhannya.

Allah Swt. berfirman: “Dan berdoalah: “Duhai Tuhanku, tempatkanlah aku di tempat yang diberkahi, dan Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat.” (QS. al-Mu’minun ayat 29).

Para ulama berbeda pendapat kapan Nabi Nuh As. diperintahkan untuk membaca doa ini. Ada yang mengatakan ketika menaiki bahtera (perahu), tapi ada pula yang mengatakan ketika hendak turun darinya. Intinya, Nabi Nuh membaca doa itu.

Doa itu pun segera dijawab oleh Allah Swt. dalam wahyuNya: “Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkahan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang mukmin) dari orang-orang yang bersamamu.” (QS. Hud ayat 48).

Nabi Nuh dan pengikutnya akhirnya berlabuh di Bukit Judi, Turki.

Tabarruk lainnya, diantaranya adalah tabarruk dengan air bekas wudhu Rasulullah Saw. Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan: “Jika Rasulullah Saw. berwudhu, para sahabat hampir-hampir saling bunuh karena memperebutkan air wudhu beliau.” (HR. al-Bukhari).

Abu Juhaifah menceritakan: “Ketika Rasulullah Saw. wudhu di Bathha, para sahabat meminta air bekas wudhu beliau. Mereka yang tidak kebagian segera menggesekkan tangannya ke tangan sahabat yang mendapat bekas wudhu Rasulullah, kemudian mereka mengusapkannya ke tubuh mereka.” (HR. al-Bukhari).

h. Ziarah Kubur

Menziarahi makam orangtua, kerabat dan para wali Allah, adalah sunnah Rasulullah Saw. dan tuntunan yang dicontohkan oleh para sahabat dan kaum shalihin. Di dalam ziarah kubur terdapat manfaat yang sangat besar bagi yang berziarah maupun yang diziarahi.

Banyak hadits Rasulullah Saw. menganjurkan umat Islam untuk berziarah kubur. Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya dahulu aku melarang kalian untuk berziarah kubur, akan tetapi sekarang ziarahilah kubur, karena yang demikian itu dapat menjadikan seseorang zuhud terhadap dunia dan ingat kepada akhirat.” (HR. Ibnu Majah).

“Ziarahilah kubur, karena yang demikian itu dapat mengingatkan kalian akan kematian.” (HR. an-Nasai).

“Barangsiapa menziarahi makam kedua orangtuanya atau salah satu dari mereka pada setiap hari Jum’at, ia diampuni dan dicatat sebagai seorang anak yang berbakti kepada orangtuanya.” (HR. Baihaqi).

Dalam Shahih Muslim, ‘Atha bin Yasar Ra. menceritakan: “Ummul Mu’minin Aisyah Ra. mengatakan bahwa pada setiap akhir malam, saat giliran tidur di rumah Aisyah, Rasulullah Saw. keluar menuju ke Pemakaman Baqi’ dan mengucapkan: “Salam sejahtera untuk kalian, wahai penghuni rumah orang-orang yang beriman. Apa yang dijanjikan telah tiba kepada kalian. Dan jika diizinkan Allah, kami akan menyusul kalian. Ya Allah, ampunilah penghuni Pemakaman Baqi’.” (HR. Muslim).

Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughni meriwayatkan bahwa: “Ketika Imam Ahmad bin Hanbal ditanya mana yang lebih utama, melakukan ziarah kubur atau meninggalkannya, beliau menjawab: “Ziarah kubur itu lebih utama.”

Dalam kitab al-Majmu’, Imam an-Nawawi berkata: “Semua teks yang berasal dari Imam Syafi’i dan orang-orang yang mengikuti beliau, bagi kaum pria dianjurkan untuk ziarah kubur. Dan ini merupakan pendapat seluruh ulama.”

Ibnu Hajar al-Haitsami berkata: “Zirah kubur para wali adalah amal yang disukai (dianjurkan), demikian pula perjalanan untuk berziarah ke makam mereka.”

Dari seluruh rangkaian pendapat para salaf di atas, dapat kita simpulkan, bid’ah hasanah mempunyai landasan yang sangat kuat. Maka, akankah kita tetap bersikukuh bahwa semua bid’ah adalah sesat?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar